Health

Pentingnya Kesadaran dan Deteksi Dini Limfoma Hodgkin

By  | 

Limfoma Hodgkin merupakan sebuah penyakit yang seringkali tidak terdiagnosis dengan tepat hingga mencapai stadium lanjut, sehingga edukasi dan deteksi dini sangatlah penting. 

Limfoma adalah salah satu jenis kanker yang menyerang sistem limfatik, bagian penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ada dua jenis utama limfoma, yaitu Limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. Limfoma Hodgkin, meskipun lebih jarang ditemukan, memiliki ciri khas sel Reed-Sternberg dan sering kali menyerang orang dewasa muda serta mereka yang berusia di atas 55 tahun. Di Indonesia, kesadaran mengenai Limfoma Hodgkin masih sangat rendah lho, mams. Gejala-gejalanya yang tidak spesifik sering kali membuat penyakit ini sulit dikenali, dan banyak pasien baru mengetahui bahwa merekamengidap kanker setelah penyakitnya mencapai tahaplanjut.

Menurut data Globocan 2022, di wilayah Asia Tenggara tercatat 12.308 kasus baru Limfoma Hodgkin dan 4.410 kematian. Di antara negara lain di Asia Tenggara, Indonesia mencatatkan 1.294 kasus baru dengan kematian sebanyak 373 kasus. Angka ini naik dari dataGlobocan di tahun 2020 yang mencatat 1.188 kasus baru dengan 363  kematian.

Gejala Limfoma Hodgkin

Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, pakar hematologi-onkologi, menjelaskan bahwa kondisi LimfomaHodgkin di Indonesia masih kurang terdiagnosis dengan baik. “Banyak  pasien baru datang ke dokter setelah penyakit mereka sudah memburuk. Tidak jarang, mereka juga mengalami salah diagnosis karena gejalanya yang tidak spesifik dan sering menyerupai penyakit lain,” urainya di acara acara media bertajuk “Kenali Limfoma Hodgkin”  PT Takeda Indonesia menyelenggarakan acara media bertajuk “Kenali Limfoma Hodgkin” beberapa waktu lalu. 

Acara ini untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Limfoma Hodgkin, sebuah  penyakit yang seringkali tidak terdiagnosis dengan tepat hingga mencapai stadium lanjut.

Acara yang mengangkat tema “Saatnya Kita  Bicara Jujur tentang Apa yang Kita Rasakan”  ini bertujuan tidak hanya untuk mengedukasi publik mengenai pentingnya deteksi dini, tetapi juga memberikan dukungan bagi  para pasien yang  tengah berjuang melawan kanker ini dengan menyediakan wadah untuk menyuarakan  kebutuhan tatalaksana serta harapan mereka.

Dr. Andhika melanjutkan bahwa Kita perlu  mewaspadai beberapa gejala seperti munculnya benjolan di area kelenjar getah bening, yang dapat disertai dengan gejala sistemik  yang  kita sebut sebagai B symptoms yang meliputi demam lebih dari 38oC tanpa penyebab yang jelas, keringat berlebihan di malam hari, serta penurunan bobot badan lebih dari 10% dalam 6 bulan berturut-turut tanpa disertai diet dan penyakit lain.

Apabila Mams atau seseorang yang Anda kenal mengalami gejala seperti itu, segera temui dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang menyeluruh. Karena semakin cepat Limfoma  Hodgkin didiagnosis, semakin besar peluang  untuk memulai pengobatan yang tepat, dan semakin tinggi angka kelangsungan hidup pasien. 

Ia juga menjelaskan bahwa hal lain yang perlu diperhatikan saat ini adalah maraknya pengobatan herbaldan berbagai pengobatan alternatif yang overclaim dapat mengobati kanker, mengobati benjolan dan lain sebagainya. “Padahal, tidak ada pengobatan yang tidak melalui clinical trial atau pengujian klinis.  Untuk itu, kita harus lebih waspada, serta kritis  dengan segala bentuk pengobatan herbal dan  sejenisnya yang belum terbukti melalui pengujian klinis,” ungkapnya.

Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM menjelaskan tentang Limfoma Hodgkin.

Pengalaman Penyintas Limfoma Hodgins

Pentingnya kesadaran terhadap gejala awal juga disampaikan oleh para pasien yang berbagi cerita mereka dalam  acara ini. Intan Khasanah,  seorang penyintas Limfoma Hodgkin,  menceritakan betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang ia tempuh sebelum akhirnyamendapatkan diagnosis yang tepat. “Awalnya, saya didiagnosis TB setelah melalui pemeriksaan biopsi. Saat itu ada 2 benjolan seukuran kelereng yang muncul di leher kanan saya persis setelah saya terkena demam tinggi selama 3 hari. Akhirnya, selama 8 bulan saya rutin minum obat sembari melakukan kontrol ke RS. Namun semakin lama kondisi saya malah semakin  parah, hingga koma dan masuk ICU. Ternyata ketika saya melakukan pengecekan ulang di dokter dan RS berbeda, diagnosis yang muncul adalah Limfoma Hodgkin, dan saat itu sudah terlanjur stadium 4. Mungkin terdengar aneh, tapi saya justru merasa lega saat dapat diagnosis itu. Yang ada di pikiran saya, “akhirnya misteri terpecahkan”. Meski setelahnya tentu perjalanan yang saya alami sama sekali tidak mudah, seperti rollercoaster, penuh ups and downs, terlebih saya berobat sambil  tetap aktif sekolah, kuliah, dan bekerja selama  7 tahun penuh, saya tidak menyangkaakhirnya bisa mendapat remisi total.”

Perjuangan melawan salah diagnosis juga dialami oleh Ias, seorang pasien Limfoma Hodgkin  lainnya. Ia berbagi kisah bagaimana awalnya  ia didiagnosis saraf terjepit, karena gejalanya  mirip. “Saya merasakan sakit punggung, demam tinggi, keringat berlebih, dan berat badan turun drastis. Bahkan setelah menjalani MRI, tidak ditemukan sel kanker. Saya juga sempat dicurigai TB, dan baru setelah biopsi dan pemeriksaan PET-CT scan, saya mengetahui bahwa saya menderita Limfoma Hodgkin, bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Tantangan terberat yang saya alami adalah panjangnya proses pengobatan. Saya sempat mengalami remisi satu kali, yaitu pada September 2023. Namun, remisi tersebut tidak berlangsung lama. Pada Januari 2024 terdeteksi sel kanker aktif (relapse) dan  hingga  kini, remisi belum tercapai,  dan sel kanker masih aktif berdasarkan PET-CTSCAN yang baru saja dilakukan di September 2024 kemarin.”

Pentingnya Kolaborasi Multi-Sektoral untuk Perawatan yang Lebih Baik

Menanggapi tantangan tersebut, dr. Siti Nadia Tarmizi,M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM),  Kementerian KesehatanRepublik Indonesia, menekankan pentingnya kolaborasi multi-sektoral untuk memperkuat sistem kesehatan Indonesia. “Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sangat menyambut baik kolaborasi lintas sektor dalammemperbaiki sistem kesehatan di Indonesia. Kami menyadari bahwa pemerintah tidak dapat bekerjasendirian, dan oleh karena itu, kami sangat memerlukan dukungan dari para pemangku kepentingan terkait—mulai dari sektor swasta, organisasi pasien, hingga masyarakat luas. Dengan kerja sama yang baik, kita dapat memberikan perawatan yang lebih baik bagi para pasien, termasuk mereka yang menderita  Limfoma Hodgkin,” jelas dr. Nadia.

Perjalanan panjang para pasien untuk mendapatkan diagnosis yang benar dan menjalani pengobatan yang tepat menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh mereka yang berjuang melawan kanker, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga  secara finansial dan mental. Beban psikologis  ini tidak hanya dirasakan oleh pasien, tetapi juga oleh keluarga dan orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, dukungan yang kuat dari  lingkungan sangatlah penting.

Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH, ketua umum Cancer Information and Support Center (CISC), yang juga seorang  penyintas kanker, turut  menyampaikan pentingnya dukungan bagi pasien  kanker. “Berbagai tantangan dihadapi pasien kanker khususnya akses terhadap diagnosis dan pengobatan seperti masalah psikologis, informasi dan keuangan. Itulah mengapa CISC didirikan sebagai sebuah organisasi pasien, guna memberikan informasi dan dukungan psikososial. Dari sekitar 3.000 anggota CISC, terdapat sekitar 250 rekan-rekan  penyintas Limfoma (termasuk Hodgkin dan non-Hodgkin).”

Shinta Caroline, Head of Patient Value Access PT Takeda Indonesia, menegaskan komitmen Takeda dalam mendukung penanganan Limfoma Hodgkin di Indonesia. “Takeda berkomitmen untuk terus meningkatkan tatalaksana Limfoma Hodgkin  di Indonesia melaluipenyediaan obat-obatan  yang inovatif, dan lebih dari itu, melalui upaya  kolaboratif bersama semua pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia seputar Limfoma Hodgkin. Kami tidak hanya ingin menjadi penyedia solusi kesehatan yang  tepercaya, tetapi juga mitra jangka panjang  bagi pemerintah, organisasi pasien, asosiasi medis, sektor swasta, dan masyarakat luas. Fokus utama kami selalu pada kepentingan pasien bagaimana  kita bisa memberikan perawatan yang terbaik,  meningkatkan kualitas hidup mereka, dan mendukung perjalanan mereka melawan penyakit ini. Kami percaya bahwa melalui kolaborasi  yang  kuat, kita dapat menciptakan dampak positif  yang nyata bagi pasien Limfoma Hodgkin  di Indonesia,” tutup Shinta. (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. iStockphoto, Takeda)

Comments are closed.

Shares