Health

3 Masalah Pencernaan yang Kerap dialami Si Kecil

By  | 

Tak hanya diare, ada beragam gangguan atau masalah pada pencernaan Si Kecil yang perlu kita kenali dan sebisa mungkin diantisipasi.

Dalam tumbuh kembang anak, masalah pada pencernaan selalu menjadi perhatian utama bagi kita ya, Mams. Bagaimana tidak, proses penyerapan nutrisi terjadi di saluran cerna, dan pencernaan yang sehat menjadi kunci tubuh yang sehat. Ada beragam masalah pencernaan anak yang sering muncul, mulai dari diare hingga sulit buang air besar atau sembelit. Memahami berbagai masalah pencernaan anak, tidak hanya penting untuk mendapatkan penanganan yang tepat, akan tetapi juga untuk memastikan bahwa Si Kecil bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.

1.Konstipasi
Sembelit atau konstipasi adalah masalah yang sering ditemui pada Si Kecil. Anak yang mengalami sembelit memiliki keluhan frekuensi BAB yang tidak teratur disertai konsistensi tinja yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan sehingga menimbulkan nyeri saat BAB.

Berikut adalah indikator konsistensi tinja yang dapat dilihat pada Skala Tinja Bristol. Tinja yang normal adalah tipe 3 dan 4:


Menurut dr. Frieda Handayani Kawanto, Sp. A, Subsp. G. H., Dokter Spesialis Anak Subspesialis Gastrohepatologi Anak RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, ada dua tipe konstipasi yang sering dialami anak-anak, di antaranya:

-Konstipasi organik, yaitu adanya kelainan fungsi organ. Pada kondisi ini, sembelit disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya penyakit celiac, gangguan tiroid, dan kelainan anatomi usus seperti penyakit hirschsprung.

-Konstipasi fungsional, dialami sebagian besar anak-anak. Konstipasi ini terjadi ketika anak menahan keinginan untuk BAB. Konstipasi fungsional dapat disebabkan karena anak khawatir mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman, misalnya karena bentuk tinja yang keras.

Apabila Si kecil menahan BAB setiap hari, maka beberapa kondisi yang dapat terjadi antara lain:


-Nyeri perut hebat dan kembung


-Nafsu makan menurun

-Mual atau refluks aliran balik dari lambung ke kerongkongan

-Diare di pakaian dalam akibat kelebihan tinja cair yang merembes

Untuk mencegah hal ini terjadi, Mama dan Papa harus sigap memeriksa kondisi Si Kecil. Adapun tanda yang dapat dideteksi oleh orangtua saat Si Kecil mengalami konstipasi adalah adanya lecet pada sekitar dubur serta ukuran tinja yang besar dan keras.

2.Demam Tifoid pada Anak


Pada 2019, sekitar sembilan juta orang mengalami demam tifoid dan 110.000 orang di antaranya mengalami kematian setiap tahun. Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyebaran infeksi terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri.

“Gejala yang ditimbulkan meliputi demam yang berkepanjangan, sakit kepala, mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Sebagian penderita bahkan dapat mengalami ruam. Kasus demam tifoid yang berat dapat menyebabkan komplikasi berat yang berakibat fatal,” terang dr. Frieda.

Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotika. Meskipun gejala sudah menghilang, tetapi penderita dapat menjadi carrier yang masih dapat menyebarkan infeksi ke orang lain melalui bakteri di tinja. Sehingga, penting dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bakteri Salmonella typhi sudah tidak ada lagi dalam tubuh pasien.

Demam tifoid cenderung terjadi pada area dengan sanitasi yang kurang baik dan kebersihan air minum yang kurang terjaga. “Akses air minum bersih, sanitasi yang kuat, higienitas saat mengolah makanan, dan vaksinasi tifoid efektif mencegah terjadinya infeksi penyakit ini. Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk anak berusia 2 tahun dan orang dewasa sampai usia 45 hingga 65 tahun (tergantung dari jenis vaksin yang digunakan),” tegasnya.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri Salmonella typhi antara lain:

-Memasak makanan sampai matang

-Menghindari susu mentah dan mengonsumsi susu pasteurisasi atau susu steril

-Menghindari konsumsi es batu yang tidak jelas sumber airnya

-Mengonsumsi air minum yang steril atau sudah dimasak

-Mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum makan

-Mencuci sayur dan buah dengan benar

3.Intoleransi Laktosa

Jangan salah ya Mams, banyak orangtua keliru dengan menyamakan pengertian istilah intoleransi laktosa dan alergi susu sapi. Meskipun keduanya menunjukkan gejala yang sama, tetapi pada dasarnya kedua masalah ini jelas berbeda.

Intoleransi laktosa adalah masalah pencernaan, sedangkan alergi susu sapi melibatkan sistem imun. Sehingga meskipun intoleransi laktosa menimbulkan rasa ketidaknyamanan, tetapi tidak akan menimbulkan kondisi yang mengancam nyawa seperti kejadian syok anafilaksis.

Laktosa adalah gugus gula yang terdapat pada susu dan produk turunannya seperti yogurt dan keju. Produk turunan laktosa lainnya adalah roti, sereal, serta makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.

Gejala intoleransi laktosa tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditolerir oleh tubuh. Semakin banyak produk laktosa dikonsumsi, maka semakin berat gejala yang timbul. Gejala yang mungkin terjadi di antaranya mual, nyeri perut, keram, kembung, serta BAB cair dan mengandung banyak gas.

Apabila diperlukan dan tersedia di daerah domisili Mamas, penanganan intoleransi laktosa dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi enzim laktase. Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak kurang dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup.

Pada beberapa kasus, intoleransi laktosa sifatnya sementara. Namun pada sebagian orang, intoleransi laktosa dapat berlangsung seumur hidup sehingga memerlukan bimbingan nutrisi agar kecukupan kalsium dan vitamin D3 dapat terpenuhi.

Melihat penjelasan di atas, sudah tentu kesehatan pencernaan Si Kecil sangat penting ya, Mams. Jadi, jangan sepelekan! (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. iStockphoto.com)

Shares