Health
Buruknya Kualitas Udara di Jakarta dan Dampaknya Bagi Si Kecil
Bila Mamas mendapati akhir-akhir ini Si Kecil sering terserang batuk, pilek, hingga sesak napas, bisa jadi hal ini disebabkan oleh kualitas udara yang sedang buruk. Buruknya kualitas udara di Jakarta ini disebabkan oleh planetary boundary layer.
“Itu merupakan lapisan percampuran massa udara, yang rendah pada pagi hari dan kecepatan angin yang rendah di pagi hari,” kata Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara BMKG Taryono dikutip dari Media Indonesia, Minggu, 4 Juni 2023.
Kondisi tersebut mengakibatkan debu atau polusi tidak dapat menyebar pada ruang yang lebih luas. Sehingga menyebabkan particulate matter (partikel udara berukuran kecil) 2.5 meningkat. Bahkan, particulate matter 2.5 menyentuh nilai maksimum. Hal itu biasanya terjadi pada pukul 07.00 pagi, waktu dimana seharusnya kondisi udara masih segar.
“Jakarta menempati urutan pertama kondisi kualitas udara terburuk di Indonesia dengan kategori konsentrasi PM2.5 harian tidak sehat selama 9 hari pemantauan,” ungkapnya.
Faktanya, kondisi ini ternyata tak hanya terjadi di Jakarta saja, Mams. Kualitas udara yang buruk juga terjadi di beberapa kota selama 21-31 Mei 2023.
“Kualitas udara di Lampung dan Bengkulu juga mengalami kategori tidak sehat masing-masing 2 hari dan 1 hari pemantauan,” beber Taryono.
Dikutip dari Kompas, polusi udara tak dapat dianggap sepele karena telah menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 pasien rawat inap, dan 7.000 anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahun di Jakarta, dengan biaya yang tak sedikit. Kesakitan, kematian, beban biaya, hingga dampak jangka panjang pada anak-anak.
Risiko Polusi Udara Bagi Si Kecil
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 menyatakan bahwa polusi udara adalah salah satu risiko lingkungan utama bagi kesehatan, menyebabkan morbiditas dan mortalitas, termasuk kanker, penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernapasan.
Mengacu pada American Lung Association Children and Air Pollution, Si Kecil memiliki risiko khusus dari polusi udara dibandingkan orang dewasa karena organ tubuh mereka, misalnya jantung dan paru-paru serta sistem pernapasan dan kardiovaskular, masih dalam tahap perkembangan. Selain itu, mereka menghirup lebih banyak udara per kilogram massa tubuh karena memiliki tingkat pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa.
Bahkan beberapa penelitian menghubungkan polusi udara dengan stunting, berat badan lahir rendah, dan kelahiran prematur.
Dokter Spesialis Anak, dr. Satrio Bhuwono Prakoso M.Ked (Ped) Sp.A memaparkan sejumlah dampak bila Si Kecil terus-menerus terpapar polutan yang tinggi. Si Kecil rawan terkena infeksi saluran napas atas, termasuk batuk pilek yang diikuti demam. Si Kecil juga dapat mengalami pembesaran amandel, bronkopneumonia atau infeksi paru-paru, dan asma.
“Anak usia di bawah dua tahun bisa mengalami bronkiolitis, biasanya ada sesak napas yang diikuti demam dan bunyi seperti asma,” terang Satrio seperti dikutip dari Kompas.
Gangguan ini menurutnya terjadi akibat polutan udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan Si Kecil. Polutan ini bisa meningkatkan mediator radang, menurunkan respons imun, sehingga virus dan bakteri lebih mudah menginfeksi saluran napas serta menimbulkan peradangan,” terangnya.
Selain gangguan pernapasan, dampak buruk kesehatan dalam jangka panjang juga harus diwaspadai. Dokter spesialis paru Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menjelaskan, jika menghirup partikel PM 2.5 dalam jumlah banyak, seseorang bisa mengalami peradangan kronik pada sistem vaskular (pembuluh darah) tubuh.
“Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sampai stroke, karena polutan yang ukurannya sangat halus itu masuk dalam darah, terdistribusi di tubuh, dan berisiko meningkatkan penyempitan pembuluh darah pada jantung,” jelasnya.
Hal ini juga didukung oleh data penelitian di Rumah Sakit Persahabatan dan Rumah Sakit Kanker Dharmais 2013, dimana empat persen dari 300 penderita kanker itu disebabkan polutan.
Oleh sebab itu, Satrio mengimbau agar kita selaku orangtua turut memantau aktivitas Si Kecil, terutama bila ia memiliki aktivitas padat di luar ruangan. Tak hanya itu saja, sebaiknya hindari Si Kecil terkena hujan karena banyak partikel polusi jatuh bersamaan dengan air hujan.
BMKG pun menghimbau agar kita selalu memperhatikan informasi kualitas udara. Informasi tersebut dapat dipantau dari BMKG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Bagi masyarakat yang memiliki historis terhadap gangguan saluran pernapasan dan kardiovaskular disarankan untuk selalu mencermati kondisi kualitas udara karena potensi dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap kesehatan. Selain itu, diharapkan masyarakat untuk mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan,” pungkas Taryono.
Meski pandemi telah terlewati, nyatanya masker masih belum benar-benar dapat kita lepaskan ya, Mams? Stay safe! (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. iStockphoto)