Health
MPASI VS Anemia pada Bayi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah rendahnya kadar hemoglobin akibat kekurangan zat besi di dalam tubuh. Anemia ini juga dapat dialami oleh bayi.
Anemia defisiensi besi pada bayi tidak terjadi secara tiba-tiba, namun didahului oleh dua tahapan sebelumnya, yaitu deplesi besi (berkurangnya cadangan zat besi, namun kadar hemoglobin masih normal) dan defisiensi besi dimana kadar hemoglobin sudah menurun. Bayi yang mengalami deplesi besi dan tidak ditangani dengan baik akan mengalami defisiensi besi. Jika kondisi defisiensi besi tidak juga di tangani segera, maka bayi akan mengalami ADB.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh berbagai faktor ya Mams, seperti:
(1) Suplai zat besi yang rendah (prematuritas, pemberian MPASI yang terlambat, diet vegetarian, gangguan menelan);
(2) Peningkatan kebutuhan besi (usia bayi, berat badan lahir rendah, pertumbuhan cepat pada masa pubertas (pubertal growth spurt));
(3) Penurunan penyerapan besi di saluran cerna (penyakit inflammatory bowel diseases, infeksi helicobacter pylori, dsb); dan
(4) Perdarahan (menstruasi yang sering dan berlebih, alergi susu sapi, dsb).
Penelitian Ringoringo pada bayi berusia 0 – 12 bulan di Kalimantan Selatan menemukan insidens ADB sebesar 47,4%. Insidens ADB pada penelitian ini cenderung lebih tinggi pada bayi yang lahir dari mama dengan anemia dibandingkan mama tanpa anemia.
Zat besi juga merupakan salah satu zat gizi penting untuk perkembangan janin, bayi, dan anak, terutama pada perkembangan otak. Defisiensi zat besi mengakibatkan gangguan perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif, khususnya fokus dan daya ingat.
“Pada saat di dalam kandungan, bayi mendapatkan asupan zat besi dari sang mama yang dapat memenuhi kebutuhan zat besi bayi sampai 4 – 6 bulan pertama setelah kelahirannya. Bayi yang lahir cukup bulan dan mendapat ASI eksklusif tidak memerlukan suplementasi zat besi. Namun ketika bayi mencapai usia 4 – 6 bulan, cadangan zat besi mulai habis sedangkan kebutuhan zat besi bayi makin meningkat sehingga menyebabkan bayi lebih rentan untuk mengalami defisiensi besi. Kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6 – 11 bulan yaitu 11 mg/hari dimana 97% dari kebutuhan ini harus dipenuhi dari MPASI,” jelas DR. dr. Lanny Christine Gultom, SpA(K) – Dokter Spesialis Anak dan Ahli Nutrisi yang juga Staf SMF Kesehatan Anak di RSUP Fatmawati.
Mama dapat memberikan MPASI rumahan maupun MPASI fortifikasi komersial. Kelebihan MPASI rumahan tentunya adalah rasa yang beraneka-ragam dan biaya yang murah. Namun perlu Mams pahami, MPASI rumahan juga memiliki risiko lebih tinggi terkontaminasi mikroba selama penyiapan, penyimpanan, dan proses pemberian makan. Tak hanya itu, tekstur makanan yang tidak sesuai usia juga berisiko dapat membuat Si Kecil tersedak.
Sementara itu, hambatan yang sering ditemui dalam penggunaan MPASI rumahan adalah kesulitan untuk menentukan kandungan nutrisi secara akurat dan daya terima Si Kecil yang mempengaruhi jumlah konsumsi karena ukuran lambungnya yang kecil. Kedua hal ini sangat menentukan kecukupan asupan zat gizi anak setiap hari. Sebagai gambaran, untuk memenuhi 11 mg zat besi diperlukan 3 buah hati ayam, 400 gram bayam, 3000 gram daging dada ayam. Penelitian Irawan R, dan kawan-kawan di Indonesia menunjukkan bayi berusia 6 – 24 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan mengonsumsi MPASI rumahan mempunyai kadar hemoglobin dan zat besi yang lebih rendah, serta risiko yang lebih tinggi untuk mengalami stunted (perawakan pendek) dan wasted (gizi kurang) dibandingkan bayi yang mengonsumsi MPASI fortifikasi kemasan. Selain itu, penelitian Csölle I, dkk juga menunjukkan bahwa pemberian MPASI fortifikasi pada bayi juga dapat mengurangi risiko anemia sebesar 43%.
Alternatif lainnya adalah MPASI fortifikasi komersial. Kelebihannya, MPASI fortifikasi ini terbuat dari bahan makanan terbaik dan melalui proses produksi yang terjaga higienitasnya. MPASI fortifikasi juga tersedia dalam beberapa tekstur yang disesuaikan dengan usia Si Kecil. Mama hanya perlu menyesuakan dengan usia Si Kecil.
Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) mengawasi dengan ketat produk MPASI komersial termasuk MPASI fortifikasi. Kandungan nutrisi dalam MPASI fortifikasi tak hanya harus mengikuti peraturan BPOM RI namun juga harus sesuai dengan Codex Alimentarius yang diinisiasi oleh FAO/WHO (Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization), serta diperkaya dengan zat gizi tertentu (besi, yodium, seng, vitamin D, dsb) untuk memastikan asupan zat gizi yang adekuat sehingga anak dapat bertumbuh- kembang secara optimal.
Persyaratan kandungan nutrisi produk MPASI yang diijinkan beredar di Indonesia tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pangan Olahan Untuk Keperluan Gizi Khusus. Kandungan air dalam produk MPASI bentuk bubuk tidak lebih dari 5g per 100g. Kandungan air yang rendah menyebabkan produk MPASI tidak menggunakan bahan pengawet, sehingga aman untuk dikonsumsi bayi.
Setelah memahami kelebihan dan kekurangan MPASI rumahan dan MPASI fortifikasi, kini Mams dapat menyesuaikan kebutuhan asupan Si Kecil baik menggunakan MPASI rumahan dan MPASI fortifikasi untuk mencegah ADB pada bayi. MPASI fortifikasi kemasan dapat menjadi alternatif untuk digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan MPASI rumahan untuk memastikan asupan zat gizi makro dan mikro yang adekuat pada bayi. (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. Freepik)