Health
131 Anak Indonesia Mengalami Gangguan Gagal Ginjal Akut, Kenali Gejalanya!
Gagal ginjal tak hanya dapat dialami orang dewasa. Faktanya, saat ini didapati adanya lebih dari seratus kasus anak mengalami gangguan gagal ginjal akut!
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan adanya kasus gagal ginjal akut yang menyerang 131 anak di Indonesia. Sayangnya, hingga kini penyebabnya masih belum diketahui.
Dikutip dari Detik, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr Eka Laksmi Hidayati, SpA(K) menjelaskan bahwa gejala awal yang muncul dapat berupa infeksi seperti batuk-pilek. Meski infeksi tersebut umumnya tak tergolong berat dan seharusnya tak berpotensi memicu gangguan ginjal akut, namun pada kasus ini, anak mengalami perburukan gejala berupa gangguan buang air kecil hanya dalam hitungan tiga hingga lima hari.
“Diawali dengan gejala infeksi seperti batuk-pilek, atau diare dan muntah. Infeksi tersebut terlihat tidak berat. Bukan tipikal infeksi yang kemudian harusnya menyebabkan AKI secara teoritis kami pelajari di kedokteran. Itulah yang membuat kami heran,” terang dr Eka di konferensi pers yang diadakan pada 11 Oktober 2022 lalu.
“Anak hanya beberapa hari timbul diare atau muntah, kemudian demam, kemudian dalam tiga sampai lima hari mendadak tidak ada urine-nya. Jadi tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi anak-anak ini hampir semuanya datang ke dokter dengan keluhan tidak buang air kecil, atau buang air kecilnya sangat sedikit,” lanjutnya.
Si Kecil yang terserang penyakit ini mengalami kondisi penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara tiba-tiba dimana secara medis dikenal dengan istilah gangguan ginjal akut progresif atipikal. Diketahui, penyakit ini banyak menyerang anak balita hingga usia delapan tahun.
Penanganan Gangguan Ginjal Akut pada Anak
Penanganan yang dilakukan dokter terhadap Si Kecil dengan gangguan ginjal akut misterius tergantung dari kondisinya. Apabila Si Kecil tidak memproduksi urine dan menjalani terapi obat, kemudian hasil terapi tersebut membuat produksi urinenya ada lagi, maka tak perlu menjalani terapi cuci darah.
“Untuk pasien seperti ini artinya kami hanya memberikan pengobatan konservatif tanpa harus menjalani terapi cuci darah,” jelas dr. Eka.
Namun bagi pasien yang sudah menjalani terapi obat
namun tetap tak ada urine, maka penanganan yang dilakukan berupa cuci darah
hingga plasma exchange yaitu menghilangkan dan menggantikan plasma darah
pasien.
“Tetapi untuk pasien anak yang sudah berikan
obat kemudian tetap tidak ada urine, maka kami akan lakukan cuci darah,
hemodialisis atau peritoneal dialisis (cuci darah dengan mesin) atau melalui
selaput perutnya dari Si Pasien itu sendiri. Atau dilakukan metode lain yang advanced misalnya dialisis continues, dan kami juga melakukan plasma exchange,” jelasnya. (Tammy Febriani/KR/Photo: Freepik)