Mind
Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan
Fakta dan data menyatakan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan, non-pasangan, atau keduanya, setidaknya sekali dalam hidupnya. Serupa dengan kondisi global, 1 dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dalam hidupnya.
Adapun fakta-fakta terkait kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat setiap tahunnya ini, dapat kita lihat dari paparan Veryanto Sitohang, selaku Komisioner Komnas Perempuan, yaitu:
●Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800% atau 8x lipat). Dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2019), jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.775.042 kasus. Artinya 760 kasus per hari atau 31 kasus per jam. Sepanjang 2011-2020, tercatat kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas 49.643 kasus. Fenomena kekerasan adalah seperti gunung es dimana jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar dari yang dilaporkan. Dapat diartikan juga bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman;
●Kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi meningkat, dimana berdasarkan CATAHU 2021, pengaduan melalui Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan meningkat, menjadi 2.389 kasus, dengan catatan 2.341 kasus berbasis gender. Dari Januari hingga Oktober 2021, tercatat kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi sebanyak 4.711 kasus.
●Dalam data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cybercrime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban;
Karena itu, memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Yayasan Care Peduli (YCP) dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, UN Women mengadakan diskusi “Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan” pada 25 November 2021 lalu.
Acara ini bertujuan untuk membuka percakapan terkait peran media dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan peliputan yang berperspektif pada korban serta mempromosikan norma positif yang mendukung pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Bonaria Siahaan, CEO Yayasan CARE Peduli, menegaskan bahwa CARE memiliki visi untuk menciptakan dunia yang memberikan harapan, bersifat inklusif dan berkeadilan, dimana semua orang dapat hidup bebas dari kemiskinan, bermartabat dan memiliki rasa aman. “Kekerasan terhadap perempuan jelas bertentangan dengan visi tersebut, karena mana mungkin seseorang dapat hidup dengan aman dan bermartabat apabila masih mengalami kekerasan dan hidup di bawah ketakutan.” Sejalan dengan visi ini, CARE mempunyai komitmen untuk terus mengadvokasi dan berkolaborasi dengan semua pihak dalam upaya penghilangan kekerasan terhadap perempuan dan untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
“Untuk mendukung penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, peran media menjadi sangat strategis. Kehadiran media dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan akan berkontribusi dalam mendekatkan hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan, khususnya melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar Veryanto.
Di acara ini, Jamshed M. Kazi, UN Women Representative and Liasion to ASEAN pun menyatakan bahwa konten berita media sangat berpengaruh.“Konten berita media dapat berkontribusi dalam menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan seksisme atau memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan kesetaraan gender”.
“Meski mungkin tidak akan mengakhiri atau menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan, karena ini membutuhkan keterlibatan dari seluruh masyarakat. Namun, peran media tetap penting untuk meningkatkan kesadaran, melawan misinformasi, menanamkan lebih banyak kepercayaan bagi para penyintas dan mendorong respons publik – terutama di antara pembuat kebijakan, akademisi, influencer, dan penyedia layanan”, lanjutnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bintang Puspayoga pun mengatakan bahwa Indonesia yang aman bagi perempuan tidak akan tercipta tanpa dukungan dan sinergi dari seluruh pihak, khususnya media. “Dalam hal ini, kami sangat berharap media bisa menjalankan kode etik pemberitaan yang ramah perempuan, serta mulai mengembangkan kebijakan media untuk mendorong pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan”, jelasnya
Mendukung hal ini, Lola Amaria yang berprofesi sebagai Produser Film dan Figur Publik juga selalu memastikan bahwa hak-hak perlindungan perempuan harus terpenuhi di tempat kerjanya. “Kita semua memiliki peran, di luar kekuatan media yang sangat signifikan. Dimulai dari diri sendiri, apa yang dapat dilakukan, kemudian dengan kelompok kecil dan di tempat kerja. Contohnya dalam pembuatan film, setiap kru dan artis yang bekerjasama dengan saya harus menyetujui kontrak kerja dimana terdapat pasal yang melindungi hak-hak perlindungan perempuan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran.”
Devi Asmarani, Co-founder dan Editor-in-chief Magdelene.co turut menggarisbawahi dalam diskusi bahwa, “Pemberitaan yang baik dan akurat dapat membantu menjadi katalis untuk perubahan yang positif yang membantu mengakhiri manifestasi dari sistem patriarki termasuk budaya perkosaan. Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja media dalam hal ini.”
Dalam acara tersebut, Cresti Fitriana, National Project Officer Communication and Information, UNESCO Jakartamempresentasikan informasi dan sumber bagi jurnalis dan media profesional dari publikasi “Pelaporan Kekerasan pada Perempuan: Panduan untuk Jurnalis” yang mencakup standar bagi jurnalis dalam peliputan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Sekalipun pemberitaan tentang kekerasan berbasis gender telah cukup banyak dan bahkan meningkat terutama sejak pandemi Covid-19, namun hal yang masih kurang diulas adalah keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan seksisme dan ketidaksetaraan gender yang mana kedua hal ini menjadi akar masalah masih terjadinya terhadap perempuan.” Lanjutnya, “Itulah mengapa tajuk pembahasan diskusi ini adalah “Ubah Narasi”, dimana media sebagai potret dari kondisi sosial masyarakat mempunyai power yang sangat besar untuk menjangkau, mengedukasi dan membentuk opini yang diharapkan dapat mengubah perspektif akan kekerasan terhadap perempuan,” tutup Bonaria. (Tammy Febriani/KR/Photo: Doc. Freepik, iStockphoto)