Health

Kenali Dyspraxia pada Balita

By  | 

Mamas, coba perhatikan balita Anda, apakah ia memgalami kesulitan melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan motorik halus maupun kasar? Misalnya seperti memasang tali sepatu atau menangkap bola. Bila ternyata balita Anda mengalaminya, maka ada kemungkinan ia mengalami dyspraxia.

Apa itu Dyspraxia?
Dyspraxia berasal dari kata “dys” berarti tidak mudah atau sulit, dan “praxis” artinya bertindak atau melakukan. Nama lain dari dyspraxia adalah Development Coordination Disorder (DCD), Perceptuo-Motor Dysfunction, dan Motor Learning Disability. Dahulu, dyspraxia juga dikenal dengan nama Clumsy Child Syndrome.

Menurut penelitian, dyspraxia adalah kondisi di mana anak mengalami gangguan atau ketidakmatangan dalam mengorganisasi gerakan, akibat kurang mampunya otak memproses informasi, sehingga pesan-pesan tidak secara penuh atau benar saat disampaikan. Dyspraxia ini kemudian memengaruhi anak dalam melakukan sesuatu serta tampak bingung bagaimana cara melakukannya. Hal ini mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam berpikir, merencanakan, dan melakukan tugas-tugas motorik dan juga sensorik.

Penyebab Dyspraxia
Hingga kini, belum banyak informasi yang bisa didapat mengenai penyebab dyspraxia. Para ahli menduga, penyebabnya adalah ketidaksempurnaan perkembangan neuron motor di otak. Neuron motor adalah sel-sel saraf yang berfungsi menghantarkan sinyal dari otak ke otot, yang pada akhirnya memungkinkan kita bergerak. Kegagalan neuron dalam menyampaikan sinyal dari otak ke otot yang membuat anak gagal merespons sesuai permintaan juga diklaim menjadi penyebabnya.

Bagaimana Mengenali Anak dengan Dyspraxia
Seperti yang dikatakan tadi, balita akan mengalami beberapa kesulitan dalam melakukan beberapa aktivitas yang berkaitan dengan motorik halus dan kasar. Kesulitan balita yang berkaitan dengan motorik halus contohnya adalah, balita kesulitan menggunakan garpu dan pisau, mengancingkan baju, menalikan sepatu, menyikat gigi, membuka-menutup stoples, hingga membuka-mengunci pintu. Sedangkan kesulitan koordinasi motorik kasar yang dialami balita adalah seperti berjalan, berlari, memanjat, dan melompat.

Tak hanya itu, balita dengan dyspraxia kemungkinan juga akan mengalami kesulitan dalam mengatur kecepatan, keseimbangan, menggabungkan beberapa gerakan dalam sekuen waktu, mengingat sekuen gerakan, bermasalah dengan keberadaan ruang (jarak dan prediksi), bingung menentukan kanan kiri, clumsy (ceroboh), dan bermasalah dengan otot yang lemah serta kelenturan pada otot.

Namun meski balita Anda memiliki kesulitan motorik seperti yang disebutkan di atas, jangan terburu-buru langsung menjatuhkan diagnosis dyspraxia ini padanya, karena tidak semua kesulitan motorik anak berkaitan dengan dyspraxia, Mams. Anak patut dicurigai menyandang dyspraxia bila selain mengalami masalah motorik di atas secara signifikan, ia juga mengalami berbagai gangguan lain seperti kesulitan mengingat instruksi, kesulitan menyalin tulisan dari papan tulis, tidak dapat menangkap konsep seperti ‘di dalam’, ‘di luar’, ‘di atas’, dan ‘di bawah’.

Selain itu, anak dengan dyspraxia juga mengalami kesulitan dalam berkata-kata maupun mengekspresikan dirinya. Bahkan, sebagian anak penderita dyspraxia terlalu sensitif dengan sentuhan. Sebagian lain mengalami articulatory dyspraxia, yang menyebabkan mereka sukar berbicara dan mengeja. Semua itu dapat menghambat anak saat bergaul maupun belajar.

Penanganan
Untuk meyakinkan diagnosis dyspraxia, sebaiknya mamas berkonsultasi dengan psikolog dan therapist. Bila memang Si Balita terdiagnosis dyspraxia, maka ia wajib melakukan serangkaian terapi seperti sensori integrasi, terapi okupasi, hingga terapi wicara, bila memang dibutuhkan olehnya. Lamanya terapi ini sangat bergantung pada sejauh mana keterlambatan dan tingkat keparahan dyspraxia yang diidap oleh Si Balita.

Perlu Anda pahami pula Mamas, bahwa gangguan dyspraxia ini tidak dapat disembuhkan dan akan terus dialami anak hingga ia dewasa. Walau begitu, berbagai kesulitan dan keterbatasan anak dengan dyspraxia ini dapat diminimalisasi dengan menjalani serangkaian terapi yang tepat dan dilakukan sejak dini, sehingga anak dapat tetap menjalani hidupnya dengan normal. (Tammy Febriani/KR/Photo: Istockphoto.com)

Shares